Minggu, 05 Februari 2012

Mengembangkan Sikap Toleransi

MENGEMBANGKAN SIKAP TOLERANSI
Toleransi berasal dari kata “ Tolerare ” yang berasal dari bahasa latin yang berarti dengan sabar membiarkan sesuatu. Pengertian secara luas yaitu suatu sikap atau perilaku
manusia yang tidak menyimpang dari aturan, dimana seseorang menghargai atau menghormati setiap tindakan yang orang lain lakukan.
Toleransi secara bahasa bermakna sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dsb) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri (Kamus Besar B.Indonesia Edisi. 2 Cetakan 4 Th.1995).
Sedangkan pengertian toleransi sebagai istilah budaya, sosial dan politik, ia adalah simbol kompromi beberapa kekuatan yang saling tarik - menarik atau saling berkonfrontasi untuk kemudian bahu - membahu membela kepentingan bersama, menjaganya dan memperjuangkannya.
Toleransi juga dapat dikatakan istilah dalam konteks sosial budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya deskriminasi terhadap kelompok - kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi beragama dimana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan keberadaan agama - agama lainnya. Istilah toleransi juga digunakan dengan menggunakan definisi “kelompok” yang lebih luas, misalnya partai politik, orientasi seksual, dan lain-lain. Hingga saat ini masih banyak kontroversi dan kritik mengenai prinsip - prinsip toleransi baik dari kaum liberal maupun konservatif. Jadi toleransi antar umat beragama berarti suatu sikap manusia sebagai umat yang beragama dan mempunyai keyakinan, untuk menghormati dan menghargai manusia yang beragama lain.
A.    Toleransi Intern Umat Beragama (Seagama)
Untuk terciptanya kehidupan yang rukun, damai dan sejahtera, Islam tidak hanya mengajarkan umatnya untuk semata beribadah kepada Allah SWT. Melainkan Islam justru sangat menekankan umatnya untuk membina dan menjalin silaturahmi yang baik dengan tetangga dan lingkungannya.
Islam adalah agama yang universal artinya rahmatan lil alamin. Umat Islam yang sangat menginginkan hidupnya mendapatkan ridha Allah SWT selalu namanya berpegang dengan ajaran Islam, dimana hubungan secara vertikal kepada Allah senantiasa harus dibina tetapi karena manusia mahluk social maka dia harus membina hidup bermasyarakat artinya berhubungan dengan tetangga secara baik.
Agama Islam sejak diturunkan oleh Allah SWT, menjadi pelopor dalam melaksanakan tasamuh, tenggang rasa atau toleransi dalam beragama, baik terhadap sesama pemeluk satu agama dan pemeluk agama lain. Sejarah membuktikan bahwa dimana agama Islam tersiar, misalnya di Mesir, Palestina hingga ke Indonesia tidak satupun bangunan rumah ibadat maupun tata cara peribadatan umat lain terganggu, gereja Kristen Orthodox di Iskandariyah, rumah - rumah ibadah yahudi (Synagoge) beserta para rahibnya termasuk candi - candi hingga saat ini tetap berdiri megah tak diganggu. Semua itu karena keislaman seseorang tidak boleh terjadi karena paksaan, melainkan harus dilandasi kesadaran pribadi memasuki jalan selamat jalan ilahi rabbi. Firman Allah SWT.
Artinya : Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS Al - Baqarah : 156)
Dan jalan mengajak kepada keimanan pun telah diaturnya.
Artinya :Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang - orang yang mendapat petunjuk”. (QS An - Nahl : 125)
Seseorang yang telah memeluk agama Islam meka sejak itu dia menjadi bagian yang utuh dari umat nabi Muhammad SAW. Disamping itu diajarkan pula oleh nabi bahwa kewajiban seorang muslim terhadap muslim lainnya (dalam kehidupan sehari - hari) ada lima, yaitu menyebarkan salam, membesuk saudaranya yang sakit, mengantarkan mayat ke kubur, menghadiri undangan, dan mendoakan orang yang bersin. Allah mengambarkan identitas nabi Muhammad SAW beserta umatnya dengan firman.
Artinya : “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang - orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang - orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda - tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat - sifat mereka dalam Taurat dan sifat - sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam - penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang - orang kafir (dengan kekuatan orang - orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang - orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS Al - Fath : 29).
Begitulah tata pergaulan muslim berdasarkan petunjuk Allah dan rasulnya. Mereka tegas dan tegar dalam urusan tauhid tanpa kompromi terhadap paham - paham syirik, demikian pula dalam bidang ibadah, syariat dan akhlak. Karena dengan begitu keteguhan dalam beragam dapat dijaga tanpa harus menyerupa - nyerupakan diri dengan maksud mencari tambahan teman. Dengan sesama muslim mereka saling bahu membahu, bergotong royong mengatasi berbagai persoalan hidup, sebagaimana dipraktekkan para sahabat Anshor (penduduk asli Madinah) dan kaum Muhajirin (yang baru datang berhijrah dari Mekkah). Mereka datang hanya berbekal iman didada, sedangkan harta milik satu - satunya hanyalah pakaian yang melekat di badan, semua ditinggalkan demi menyelamatkan aqidah yang di negeri sendiri tidak aman melaksanakannya.
Kemudian sahabat Anshor menyongsong saudaranya yang seiman itu dengan tangan terbuka, diantara mereka ada yang menyerahkan sebagian harta bendanya, ada yang menyilahkan menempati sebagian rumah miliknya, dan banyak lagi contoh - contoh pengorbanan yang mereka lakukan. Mereka sadara bahwa harta yang dipunyai adalah titipan Allah yanng apabila dimanfaatkan untuk perjuangan akan berlipat ganda nilainya, sebagai bekal hidup abadi kelak. Allah berfirman.
Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki - laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku - suku supaya kamu saling kenal - mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Al Hujurat :13)
Dari ayat tersebut terkandung pelajaran yang amat berharga bagi kita, yakni manusia terlahir dalam berbagai suku bangsa (ras) maupun kebangsaan (nation). Semua itu dimaksudkan agar mereka menjalin komunikasi, bukan saling mengunggulkan ras masing -masing, karena didepan Allah hanya yang paling bertakwalah yang paling utama. Mengapa demikian ? Karena tak satupun bangsa di dunia ini yang mampu mencukupi segala kebutuhannya. Oleh karena itu, hendaklah dalam hidup ini perlu diciptakan adanya saling menghidupi, melengkapi (simbiosis mutualisme). Lebih dari itu, dalam Islam seorang muslim memiliki kebebasan berfikir dan menyatakan pendapat sebagai salah satu hak asasi. Seorang muslim yang lain tak perlu berkecil hati menghadapi perbedaan pendapat umat tentang masalah-masalah agama yang disebut ikhtilaf, baik dalam bidang hukum fiqih maupun maslaah yang menyinggung bidang aqidah. Perbedaan paham dikalangan umat tidak boleh ditutup dengan alasan ketenangan, kerukunan dan sebagainya.
Risalah Nabi Muhammad SAW menghendaki perkembangan, penelitian ilmiah, pemahaman yang mendalam untuk menambah keimanan dan selanjutnya diamalkan. Maka dibukalah pintu ijtihad untuk masalah - masalah tertentu dalam memenuhi perkembangan zaman yang terus beredar. Hasil taffaquh fiddien dan ijtihad tidak mustahil menghasilkan pendapat yang berbeda - beda (ikhtilaf). Agama Islam tidak melarang terjadinya ikhtilaf, yang terlarang justru perbuatan jumud (beku) dan tafarruq atau berpecah belah, yang kedua - duanya tak perlu dipilih. Ikhtilaf (perbedaan paham) tidak semata - mata menimbulkan tafarruq (perpecahan).
Para sahabat nabi juga pernah terjadi ikhtilaf, misalnya perbedaan faham dalam masalah - masalah fiqih, tetapi mereka tidak berpecah belah, karena berpegang kepada petunjuk risalah itu sendiri. Sebagaimana firman Allah SWT :
Artinya : “Hai orang - orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar - benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An Nisa : 59)
Demikian pula dicontohkan oleh para imam mahzab, Yakni Imam syafi’i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hambal. Mereka para imam mahzab tidak seorang pun yang mengemukakan pendapatnyalah yang paling benar, bahkan beliau - beliau senantiasa menutup tiap fatwanya dengan ungkapan “Wallahu alamu”, seperti ungkapan “inilah pendapatku tentang hasil ijtihadku, dengan sekuat daya ilmuku. Namun demikian, Allah jualah yang lebih mengetahui tentang kebenaran”. Begitu indah contoh tauladan dari imam mujtahid kepada masyarakat dalam memeras otak mencari kebenaran, sehingga perbedaan pendapat umat tidak perlu menimbulkan perpecahan, justru memprekaya khasanah perbendaharaan pengetahuan umat akan nilai - nilai yang terkandung didalam ajaran Islam, begitu pula hendaknya setiap pemeluk agama dapat menyikapi perbedaan-perbedaan yang terjadi. Karena dari situlah tamapak kemuliaan umat Islam dimuka bumi, yaitu memilki sikap Tasamuh, tenggang rasa dan tepa selira yang adi luhung. Dan tempat kembalinya hanya kepada Allah saja. Firman Allah SWT.
Artinya : “Katakanlah: “Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar. Dan Dia-lah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui.” (QS Saba’ : 26).
B.     Toleransi Antar Umat Beragama
Toleransi beragama berarti saling menghormati dan berlapang dada terhadap pemeluk agama lain, tidak memaksa mereka mengikuti agamanya dan tidak mencampuri urusan agama masing-masing. Ummat Islam diperbolehkan bekerja sama dengan pemeluk agama lain dalam aspek ekonomi, sosial dan urusan duniawi lainnya. Dalam sejarah pun, Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wasallam telah memberi teladan mengenai bagaimana hidup bersama dalam keberagaman.
Dimuka telah dijelaskan mengenai bagaimana seharusnya kita bergaul dengan sesamam saudara seagama, dan bagaimana pula sikap kita terhadap umat agama yang berbeda? Perlu disadari bahwa hidup dan kehidupan dunia senantiasa bersifat majemuk, tidak mungkin setiap orang akan memilki pandangan yang sama terhadap suatu masalah termasuk dalam hal beragama. Agama Islam mengakui bahwa keimanan seseorang terkait dengan hidayah (petunjuk dari Allah) SWT, bukan hasil rekayasa manusia. Kita hanya bertugas untuk berdakwah menyampaikan kebenaran ajaran Allah yang mampu dilakukan, dengan menggunakan “Qaulan Balig” atau hingga menjangkau lubuk hati secara bijaksana, mengenai hasilnya kita serahkan kepada Allah SWT.
Kemudian kepada saudara yang tidak seiman tetap ada kewajiban yang mesti ditunaikan dan dijaga, yaitu kehormatannya, harta bendanya serta hak - hak privasinya sepanjang mereka tidak mengganggu aqidah dan pelaksanaan ibadah kita. Mereka berhak untuk bekerja sama menciptakan lingkungan yang sehat, bersih, indah dan aman bagi setiap anggota masyarakat di lingkungannya. Negara kita berpenduduk jutaan jiwa dengan memeluk berbagai agama, sebagaimana terjadi hampir di setiap negara, ada yang beragama Islam, Kristen Protestan, katholik, Budha, Hindu, dan lain - lainnya. Kepada pemeluk suatu agama diprsilahkan maisng - masing untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan kepercayaannya itu secara khidmat dan khusyuk. Dan bagi pemeluk agama yang lain ridak mengganggunya atau mencampurinya. Juga jangan memaksakan keyakinannya kepada orang lain. Dalam pergaulan hidup antar umat beragama ini, Allah telah memberikan tuntunan kepada umat Islam dengan firmannya.
Artinya : “1. Katakanlah: “Hai orang - orang kafir, 2. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. 3. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. 4. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, 5. dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. 6. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS Al - Kafirun : 1-6)
Surat Al Kafirun atar 1 : 6 diatas menjadi pedoman pokok bagi umat Islam dalam rangka membina toleransi antar umat beragama, sejak zaman nabi Muhammad SAW, hingga akhir zaman. Adapun sebab-sebab turunnya surat ini adalah lantaran pemuka Quraisy diantaranya Walid bin Mughirah, Ash bin Waa’il, Aswad bin Abdul Muthalib, dan Umayah bin Khalaf datang menemui Rasullah SAW mengajak kompromi dalam beragama, satu tahun beribadah bersama mereka, tahun berikutnya gantian mereka mengikuti ibadah agama Islam.
Seperti diketahui bahwa sebelum tawaran tersebut telah mereka gunakan berbagai kekerasan dan intimidasi untuk mencegah dakwah Islamiyah yang dilakukan nabi, ternyata hasilnya nihil , maka cara itu dicoba tawarkan kepada beliau. Ternyata tawaran itu ditolak oleh Allah dan rasulnya karena beberapa hal sebagai berikut :
1.      Mereka tidak menyembah tuhan yang kita sembah, mereka menyembah tuhan yang membutuhkan pembantu.
2.      Sifat - sifat tuhan yang mereka sembah berbeda dengan sifat-sifat tuhan yang kita sembah
3.      Cara beribadahnya pun berbeda jauh dengan cara kita beribadah.
Karenanya Allah mengancam orang - orang kafir dengan firmannya :
Artinya : “Katakanlah: “Apakah kamu memperdebatkan dengan kami tentang Allah, padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu; bagi kami amalan kami, dan bagi kamu amalan kamu dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan hati. “ (QS Al - Baqarah : 139)
Begitulah Allah membimbing Rasullah SAW beserta umatnya agar tidak mencampuradukkan aqidah maupun ibadah dengan aqidah dan ibadah. Lebih dari itu masing - masing pemeluk agama dipersilahkan melaksanakan apa yang diyakininya tanpa saling mempengaruhi. Sebab masalah agama merupakan maslaah yang peka (sensitif / mudah timbul ketersinggungan), maka tiap umat beragama hendaknya berusaha menjaga kerukunan dan keutuhan sebagai bangsa yang cinta damai ini.
Satu hal yang juga perlu mendapatkan perhatian dan kehati - hatian serta kewaspadaan, terutama oleh para pemuka tiap - tiap pemuka agama, yaitu dalam rangka memperingati hari - hari besar agama, hendaklah hanya melibatkan pemeluk agama yang bersangkutan saja, jangan sampai pemeluk agama lain ikut dilibatkan. Hal yang demikian bertentangan dengan semangat kerukunan umat beragama itusendiri. Jadi, misalnya peringatan maulid nabi Muhammad SAW, natal, waisak, nyepi dan sebagainya. Semua peringatan - peringatan itu hanya diikuti oleh pemeluk agama yang bersangkutan saja agar tidak menimbulkan keresahan hidup berdampingan, tidak campur aduk satu sama lain.dengan demikian, yang harus rukun itu umat beragamanya dalam rangka hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bukan ajaran agamanya.
Hubungan toleransi diantara kaum muslimin dengan orang - orang kafir sebagaimana yang dituntunkan oleh Allah Ta’ala sebagai berikut :
1.      Kaum muslimin walaupun sebagai penguasa dilarang memaksa orang-orang kafir untuk masuk islam. Firman Allah Ta’ala :
“Tidak ada paksaan untuk memasuki agama islam, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat”. (Al - Baqarah : 256)
2.      Kaum muslimin harus tetap berbuat adil walaupun terhadap orang - orang kafir dan dilarang mendhalimi hak mereka.
“Dan janganlah sekali - kali kebencianmu kepada suatu kaum karena mereka menghalang - halangi kamu dari masjidil haram, mendorongmu berbuat aniaya kepada mereka. Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan taqwa dan jangan tolong - menolong dalam berbuat dosa dan kemaksiatan dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al - Maidah: 2)
3.      Orang - orang kafir yang tidak menyatakan permusuhan terang - terangan kepada kaum muslimin, dibolehkan kaum muslimin hidup rukun dan damai bermasyarakat, berbangsa dengan mereka.
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negrimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (8) “Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang - orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negrimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang - orang yang dhalim.” (Al - Mumtahanah : 8 - 9)
Maka tiga patokan bermasyarakat dengan orang - orang kafir sebagaimana tersebut diatas, seorang muslim dengan mengingat tujuh prinsip toleransi beragama sebagaimana diuraikan diatas, kaum berhubungan baik dan bertoleransi dengan orang - orang kafir, bukanlah karena mencintai mereka. Tetapi semata - mata karena agama Allah memerintahkan kita untuk berbuat baik dengan orang yang kita benci dan membenci kita. Sehingga orang - orang kafir yang hidup dimasyarakat muslimin, mereka mempunyai hak sebagai tetangga, dan bahkan mempunyai hak sebagai famili karib kerabat, hak sebagai orang tua bila anaknya sebagai seorang muslim. Untuk hal ini semua kita dapati banyak teladan perbuatan Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam.
“Dari Asma’ Binti Abu Bakar, ia berkata: ‘Di masa Nabi Sholallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, ibuku pernah mengunjungiku dalam keadaan sangat berharap kebaikanku kepadanya dan takut kalau aku menolaknya dan merasa kecewa. Maka saya pun bertanya kepada Nabi Sholallahu ‘alaihi wasallam: “Apakah boleh aku menyambung hubungan silaturrahmi dengannya?” Beliau berkata:”Ya.”
Ibnu ‘Uyainah menerangkan: Maka Allah “Azza wa Jalla menurunkan ayat 8 surat Al - Mumtahanah tersebut artinya (Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agamamu). Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam kitab Al - Adabul Mufrod yang dishahihkan oleh Al - Muhaddits Al - Allamah Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al - Albani rahimahullah dalam kitab Shahih Al - Aldabul Mufrod 19 / 25.
Ada beberapa prinsip yang tidak boleh diabaikan sedikitpun oleh umat islam dalam bertoleransi dengan penganut agama lain yaitu :
1.      Kebenaran itu hanya ada pada Islam dan selain Islam adalah bathil. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya agama yang diridhoi disisi Allah hanyalah islam”.(Al-Imran: 19).
“Barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali - kali tidak akan diterima (agama itu) dari padanya, dan diakhirat termasuk orang - orang yang rugi”. (Ali - Imran : 85)
2.      Kebenaran yang telah diturunkan oleh Allah didunia ini adalah pasti dan tidak ada keraguan sedikitpun kepadanya. Dan kebenaran itu hanya ada di agama Allah Ta’ala, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
“Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka janganlah engkau termasuk kalangan orang yang bimbang”. (Al - Baqarah : 147)
3.      Kebenaran Islam telah sempurna sehingga tidak bersandar kepada apapun yang selainnya untuk kepastiaan kebenarannya, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
“Pada hari ini Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku lengkapi nikmatku atas kalian dan Aku ridhoi islam sebagai agama kalian”. 
(Al - Maidah :  3)
4.      Kaum mu’minin derajat kemuliaannya dan kehormatannya lebih tinggi daripada orang - orang kafir (non - muslim) dan lebih tinggi pula daripada orang - orang yang munafik (ahlul bid’ah), sebagaimana firman Allah Ta’ala : 
“Maka janganlah kalian bersikap lemah dan jangan pula bersedih hati, padahal kamulah orang - orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang - orang yang beriman”. (Al - Imran : 139)
5.      Kaum muslimin dilarang ridho atau bahkan ikut serta dalam segala bentuk peribadatan dan keyakinan orang - orang kafir dan musyrikin hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah Ta’ala dalam firman Nya :
 “Katakanlah : wahai orang - orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah dan kalian tidak menyembah apa yang aku sembah dan aku tidak menyembah apa yang kalian sembah dan kalian tidak menyembah apa yang aku sembah bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku”. (Al - Kafirun : 1 - 6)
6.      Kaum muslimin jangan lupa bahwa orang kafir dari kalangan ahlul kitab dan musyrikin menyimpan dihati mereka kebencian tradisional terhadap kaum muslimin, khususnya bila kaum muslimin mengamalkan agamanya. Oleh karena itu kaum muslimin jangan minder (merasa rendah diri)  menampakkan prinsip agamanya diantara mereka dan jangan sampai mempertimbangkan ketersinggungan perasaan orang - orang kafir ketika menjalankan dan mengatakan prinsip agamanya. Demikian pula keadaan orang - orang munafik (Ahlul Bid’ah) Firman Allah :
“Orang - orang yahudi dan nashrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar). Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”. (Al - Baqarah: 120) .
7.      Kaum muslimin dilarang menyatakan kasih sayang dengan orang - orang kafir dan munafik yang terang - terangan menyatakan kebenciannya kepada islam dan muslimin. Allah berfirman :
“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang - orang yang menentang Allah dan RasulNya, sekali pun orang - orang itu bapak - bapak atau anak - anak, saudara - saudara, keluarga mereka. Mereka itulah orang - orang yang Allah telah menanaman keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari padanya. Dan dimasukannya mereka kedalam surga yang mengalir dibawahnya sungai - sungai mereka kekal didalamnya. Allah ridho terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmatnya). Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah lah itulah golongan yang beruntung”. (Al - Mujadilah : 22)
 Tujuh prinsip tersebut menjadi dasar hubungan toleransi antar kaum muslimin dengan orang kafir. Agar dengan di fahami dan dipegang erat - erat ketujuh prinsip tersebut, kaum muslimin akan selamat dari upaya pendangkalan dan pengkebirian keimanan mereka kepada agamanya.
d^o^b

1 komentar:

  1. Ketika Rasulullah Saw. menantang berbagai keyakinan bathil dan pemikiran rusak kaum musyrikin Mekkah dengan Islam, Beliau dan para Sahabat ra. menghadapi kesukaran dari tangan-tangan kuffar. Tapi Beliau menjalani berbagai kesulitan itu dengan keteguhan dan meneruskan pekerjaannya.

    BalasHapus