Jumat, 03 Februari 2012

Aliran - Aliran Dalam Filsafat Pendidikan


ALIRAN - ALIRAN DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN

1.      Aliran Progresivisme

Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas progesivisme dalam sebuah realita kehidupan, agar manusia bisa survive menghadapi semua tantangan hidup. Dinamakan instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk kesejahteraan dan untuk mengembangkan kepribadiaan manusia. Dinamakan eksperimentalisme, karena aliran ini menyadari dan mempraktikkan asas eksperimen untuk menguji kebenaran suatu teori. Dan dinamakan environmentalisme, Karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu memengaruhi pembinaan kepribadiaan (Muhammad Noor Syam, 1987: 228-229)

Adapun tokoh - tokoh aliran progresivisme ini, antara lain, adalah William James, John Dewey, Hans Vaihinger, Ferdinant Schiller, dan Georges Santayana. Aliran progesivisme telah memberikan sumbangan yang besar di dunia pendidikan saat ini. Aliran ini telah meletakkan dasar - dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan kebaikan baik secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain (Ali, 1990: 146). Oleh karena itu, filsafat progesivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter.

John Dewey memandang bahwa pendidikan sebagai proses dan sosialisasi (Suwarno, 1992: 62-63). Maksudnya sebagai proses pertumbuhan anak didik dapat mengambil kejadian - kejadian dari pengalaman lingkungan sekitarnya. Maka dari itu, dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu dihapuskan, sebab belajar yang baik tidak cukup di sekolah saja. Dengan demikian, sekolah yang ideal adalah sekolah yang isi pendidikannya berintegrasi dengan lingkungan sekitar. Karena sekolah adalah bagian dari masyarakat. Dan untuk itu, sekolah harus dapat mengupyakan pelestarian karakteristik atau kekhasan lingkungan sekolah sekitar atau daerah di mana sekolah itu berada. Untuk dapat melestarikan usaha ini, sekolah harus menyajikan program pendidikan yang dapat memberikan wawasan kepada anak didik tentang apa yang menjadi karakteristik atau kekhususan daerah itu. Untuk itulah, fisafat progesivisme menghendaki sis pendidikan dengan bentuk belajar “sekolah sambil berbuat” atau learning by doing (Zuhairini, 1991: 24).

Dengan kata lain akal dan kecerdasan anak didik harus dikembangkan dengan baik. Perlu diketahui pula bahwa sekolah tidak hanya berfungsi sebagai pemindahan pengetahuan (transfer of knowledge), melainkan juga berfungsi sebagai pemindahan nilai - nilai (transfer of value), sehingga anak menjadi terampildan berintelektual baik secara fisik maupun psikis. Untuk itulah sekat antara sekolah dengan masyarakat harus dihilangkan.

2.      Aliran Esensialisme

Aliran esensialisme merupakan aliran pendidikan yang didasarkan pada nilai - nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaisance dengan ciri - cirinya yang berbeda dengan progesivisme. Dasar pijakan aliran ini lebih fleksibel dan terbuka untuk perubahan, toleran, dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Esensiliasme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai - nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama, yang meberikan kestabilan dan nilai - nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas (Zuhairini, 1991: 21).

Idealisme, sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya mengenai pribadi individu dengan menitikberatkan pada aku. Menurut idealisme, pada tarap permulaan seseorang belajar memahami akunya sendiri, kemudian ke luar untuk memahami dunia objektif. Dari mikrokosmos menuju ke makrokosmos. Menurut Immanuel Kant, segala pengetahuan yang dicapai manusia melalui indera memerlukan unsur apriori, yang tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu.

Bila orang berhadapan dengan benda - benda, bukan berarti semua itu sudah mempunayi bentuk, ruang, dan ikatan waktu. Bentuk, ruang , dan waktu sudah ada pada budi manusia sebelum ada pengalaman atu pengamatan. Jadi, apriori yang terarah buikanlah budi pada benda, tetapi benda - benda itu yang terarah pada budi. Budi membentuk dan mengatur dalam ruang dan waktu. Dengan mengambil landasan pikir tersebut, belajar dapat didefinisikan sebagai substansi spiritual yang membina dan menciptakan diri sendiri (Poedjawijatna, 1983: 120-121).

Roose L. finney, seorang ahli sosiologi dan filosof , menerangkan tentang hakikat social dari hidup mental. Dikatakan bahwa mental adalah keadaan ruhani yang pasif, hal ini berarti bahwa manusia pada umumnya menerima apa saja Yng telah ditentukan dan diatur oleh alam sosial. Jadi, belajar adalah menerima dan mengenal secara sungguh - sungguh nilai - nilai sosial angkatan baru yang timbul untuk ditambah, dikurangi dan diteruskan pada angkatan berikutnya.

3.      Aliran Perenialisme

Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme memberikan sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun praktik bagi kebudayaan dan pendidikan zaman sekarang (Muhammad Noor Syam, 1986: 154). Dari pendapat ini diketahui bahwa perenialisme merupakan hasil pemikiran yang memberikan kemungkinan bagi seseorang untukk bersikap tegas dan lurus. Karena itulah, perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan arah arsah tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat, khususnya filsafat pendidikan.

Menurut perenialisme, ilmu pengetahuan merupakan filsafat yang tertinggi, karena dengan ilmu pengetahuanlah seseorang dapat berpikir secara induktif. Jadi, dengan berpikir maka kebenaran itu akan dapat dihasilkan. Penguasaan pengetahuan mengenai prinsip - prinsip pertama adalah modal bagi seseorang untuk mengembangkan pikiran dan kecerdasan. Dengan pengetahuan, bahan penerangan yang cukup, orang akan mampu mengenal dan memahami faktor - faktor dan problema yang perlu diselesaikan dan berusaha mengadakan penyelesaian masalahnya.

Diharapkan anak didik mampu mengenal dan mengembangkan karya - karya yang menjadi landasan pengembangan disiplin mental. Karya - karya ini merupakan buah pikiran besar pada masa lampau. Berbagai buah pikiran mereka yang oleh zaman telah dicatat menonjol seperti bahasa, sastra, sejarah, filsafat, politik, ekonomi, matematika, ilmu pengetahuan alam, dan lain - lainnya, yang telah banyak memberikan sumbangan kepada perkembangan zaman dulu.

Tugas utama pendidiakn adalah mempersiapkan anak didik ke arah kematangan. Matang dalam arti hidup akalnya. Jadi, hal inilah yang perlu mendapat tuntunan ke arah kematangan tersebut. Sekolah rendah memberikan pendidikan dan pengetahuan serba dasar. Dengan pengetahuan yang tradisional seperti membaca, menulis, dan berhitung, anak didik memperoleh dasar penting bagi pengetahuan - pengetahuan yang lain.

Sekolah, sebagai tempat utama dalam pendidikan, mempesiapkan anak didik ke arah kematangan akal dengan memberikan pengetahuan. Sedangkan tugas utama guru adalah memberikan pendidikan dan pengajaran (pengetahuan) kepada anak didik. Dengan kata lain, keberhasilan anak dalam bidang akalnya sangat tergantung kepada guru, dalam arti orang yang telah mendidik dan mengajarkan.

4.      Aliran Rekonstruksionisme

Kata Rekonstruksionisme bersal dari bahasa Inggris reconstruct, yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, rekonstruksionisme merupakan suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran rekonstruksionisme pada prinsipnya sepaham dengan aliran perenialisme, yaitu berawal dari krisis kebudayaan modern. Menurut Muhammad Noor Syam (1985 : 340), kedua aliran tersebut memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang mempumyai kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan, dan kesimpangsiuran.

Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat manusia. Karenanya, pembinaan kembali daya intelektual dan spiritual yang sehat melalui pendidikan yang tepat akan membina kembali manusia dengan nilai dan norma yang benar pula demi generasi yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia.

Di samping itu, aliran ini memiliki persepsi bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur dan diperintah oleh rakyat secara demokratis, bukan dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu. Cita - cita demokrasi yang sesungguhnya tidak hanya teori, tetapi mesti diwujudkan menjadi kenyataan, sehingga mampu meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna kulit,, keturunan, nasionalisme, agama (kepercayaan) dan masyarakat bersangkutan.

5.      Aliran Empirisme atau Environtalisme

Empirisme berasal dari kata empiri yang berarti pengalaman. Aliran empirisme atau environmental menyatakan bahwa perkembangan seorang individu akan ditentukan oleh pengalaman - pengalaman yang diperolehnya selama perkembangan individu tersebut. Pendidikan pun termasuk pada pengertian pengalaman seorang individu.

Menurut teori ini, seseorang dilahirkan bagaikan kertas putih bersih atau meja berlapis lilin yang belum ada tulisannya. Pengalaman sebagai tulisan atau corak yang mengisi kertas putih tersebut. Teori ini dikemukakan oleh John Locke ( 1632 - 1704 M ) yang dikenal dengan teori tabula rasa. Adapun tokoh lain, yaitu J. Herbart ( 1776 - 1941 M ) yang mengemukakan bahwa manusia ketika lahir bagaikan sebuah bejana kosong. Pengalaman yang dialami anak akan menjadi isi dari bejana tersebut.

Adapun tokoh lain yang mempunyai pandangan hampir sama dengan John Locke, yaitu :
a)    Helvatus ( ahli filsafat Yunani) yang berpendapat bahwa manusia dilahirkan dengan jiwa dan watak yang hampir sama, yaitu suci dan bersih. Pendidikan dan lingkungan yang membuat manusia berbeda.
b)    Claude Andrien Helvetus ( Jerman, 1715 – 1771 ) yang berpendapat bahwa lingkungan dan pendidikan dapat membentuk ke arah mana saja yang dikehendaki pendidik. Jadi, berdasarkan teori - teori tersebut keturunan atau pembawaan tidak mempunyai peranan dalam perkembangan individu. Pendidikan sebagai bagian dari pengalaman mempunyai peranan yang penting, karena akan menentukan keadaan individu mada masa yang akan datang. Oleh karena itu, menurut teori ini pendidikan merupakan usaha yang cukup mampu untuk mengisi dan membentuk pribadi seseorang ke arah pola yang diinginkan dan diharapkan lingkungan masyarakatnya. Kepribadian terbentuk atas dasar pengaruh lingkungan pendidikan yang didapatnya.

6.      Aliran Nativisme

Nativisme berasal dari kata nativus yang berarti terlahir. Aliran nativisme menyatakan bahwa perkembangan individu ditentukan oleh faktor keturunan atau bawaan sejak lahir. Menurut aliran ini, setiap individu ketika dilahirkan telah membawa sifat - sifat tertentu yang akan menentukan keadaan individu yang bersangkutan. Dengan demikian, menurut aliran ini keberhasilan belajar seseorang ditentukan oleh dirinya sendiri. Faktor lain, yaitu lingkungan dan pengalaman yang termasuk di dalamnya adalah pendidikan tidak akan berpengaruh terhadap perkembangan individu itu. Teori ini dikemukakan oleh Arthur Schopenhauer ( Belanda, 1788 - 1860 M ). ( Bigot, Kohstamm, Palland, 1950 )

Nativisme berpendapat, jika anak memiliki bakat jahat sejak lahir maka ia akan menjadi jahat, dan sebaliknya jika anak memiliki bekat baik sejak lahir maka ia akan menjadi baik. Dapat dikatakan, pendidikan yang tidak sesuai dengan bakat anak tidak akan berguna bagi perkembangan anak itu sendiri. Nativisme adalah tentang adanya pengakuan daya asli yang telah terbentuk ketika manusia lahir ke dunia, yaitu daya psikologis dan fisiologis yang bersifat herediter (keturunan).

Aliran ini mengakibatkan pesimistis untuk pendidikan, karena pendidikan menjadi suatu usaha yang tidak berdaya menghadapi perkembangan manusia. Manfaat pendidikan hanya sekedar memoles permukaan peradaban dan tingkah laku sosial, sedangkan lapis kepribadian yang lebih dalam tidak perlu ditentukan. Aliran ini menganggap kepribadian harus diterima apa adanya tanpa mempercayai adanya nilai - nilai pendidikan untuk mengubah kepribadian.

7.      Aliran Naturalisme atau Negativisme

Aliran naturalisme yang dikemukakan oleh J.J Rosseau ( Perancis, 1712 - 1778 M ), menyatakan bahwa setiap anak yang lahir ke dunia mempunyai pembawaan baik. Namun pembawaan baik tersebut akan rusak oleh faktor lingkungan. Dari pandangan tersebut dapat ditarik pengertian sebagai berikut :
a)    Semua manusia yang baru lahir mempunyai pembawaan baik, kemudian menjadi rusak oleh tangan manusia.
b)   Pendidikan dapat merusak pembawaan anak yang baik, karena aliran ini memandang tidak perlu adanya pendidikan bagi pengembangan bakat dan kemampuan anak. Hal yang diperlukan adalah menyerahkan anak kepada alam ( nature) agar pembawaan yang baik itu tidak menjadi rusak ole manusia melalui kegiatan pendidikan.
c)   Perlu adanya permainan bebas bagi anak untuk mengembangkan pembawaan, kemampuan dan kecenderungannya untuk mempertahankan segala yang baik yang telah diberikan oleh Sang Pencipta. Rohracher, seorang psikolog Austria mempunyai pendapat yang sama dengan J.J Rosseau yang mengemukakan bahwa manusia hanyalah hasil suatu proses alam menurut hukum tertentu. Manusia itu bertanggung jawab pada dirinya tentang keadaan dirinya sendiri. Ia rtidak bertanggung jawab tentang bakatnya. Aliran naturalisme disebut juga aliran negativisme karena berpandangan bahwa pendidik hanya membiarkan anak tumbuh dan berkembang dengan sendirinya selanjutnya diserahkan kepada alam agar pembawaan baik yang dimilikinya tidak menjadi rusak oleh tangan manusia melalui kegiatan pendidikan. Akan tetapi agar lebih bijak untuk menghadapi kenyataan tersebut, sebagai pendidik harus mengupayakan yang terbaik untuk mengarahkan anak tetap baik sesuai dengan keadaan ketika anak tersebut lahir. Menurut pandangan M. Arifin dan Aminuddin R, dalam artikelnya aliran ini mempunyai konsep tentang pembelajaran.
d) Anak didik belajar melalui pengalamannya sendiri. Kemudian terjadi interaksi antara pengalaman dengan kemampuan pertumbuhan dan perkembangan di dalam dirinya secara alami.
e)  Pendidik hanya menyediakan lingkungan belajar yang menyenangkan. Pendidik berperan sebagai fasilitator atau nara sumber yang menyediakan lingkungan yang mampu mendorong keberanian anak didik ke arah pandangan positif dan tanggap terhadap kebutuhan untuk memperoleh bimbingan dan sugersti dari pendidik. Tanggung jawab belajar terdapat pada anak didik itu sendiri.
f)   Program pendidikan di sekolah harus disesuaikan dengan minat dan bakat peserta didik, dengan menyediakan lingkungan belajar yang berorientasi pada pola belajar anak didik. Anak didik secara bebas diberi kesempatan untuk menciptakan lingkungan belajarnya sendiri sesuai dengan minat dan perhatiannya.
Dengan demikian, aliran naturalisme menitikberatkan pada strategi pembelajaran yang bersifat peadosentris, yaitu faktor kemampuan individu anak didik menjadi pusat kegiatan proses belajar mengajar. Jadi, pendidikan yang merupakan bagian dari pengalaman individu, dijadikan sebagai kemudahan agar anak berkembang sesuai dengan kodrat alamiahnya.

8.      Aliran Konvergensi

Aliran ini merupakan teori gabungan (konvergen) dari aliran nativisme dan empirisme. Tokoh aliran ini adalan William Stern, yang mengemukakan bahwa pembawaan dan lingkungan mempunyai peranan penting dalam perkembangan individu. Aliran ini berpendapat bahwa anak telah memiliki pembawaan baik atau buruk sejak lahir ke dunia, perkembangan selanjutnya akan dipengaruhi oleh lingkungan.

Anak yang mempunyai pembawaan yang baik dan didukung oleh lingkungan pendidikan yang baik akan menjadi semakin baik. Sedangkan bakat yang dibawa sejak lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa dukungan lingkungan yang sesuai bagi perkembangan bakat itu sendiri. Sebaliknya, lingkungan yang baik tidak dapat menghasilkan perkembangan anak secara optimal apabila tidak didukung oleh bakat yang baik yang dibawa oleh anak. Akan tetapi William Stern tidak mengemukakan seberapa besar perbandingan pengaruh dari faktor bawaan dan lingkungan.

Aliran ini menganggap bahwa pendidikan sangat bergantung pada faktor pembawaan atau bakat anak dan lingkungan. Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu rangkaian interaksi antara pembawaan dan lingkungan. Pribadi peserta didik akan terbentuk sebagai hasil dari kedua faktor tersebut. Pandangan ini diidentifikasikan pendidikan sebagai konsepsi pendidikan yang cenderung rasional.

Di Indonesia, teori yang dikemukakan aliran ini dapat diterima seperti yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, sebagai berikut :Tentang hubungan antara dasar dan keadaan ini menurut ilmu pendidikan ditetapkan adanya konvergensi yang berarti bahwa kedua - duanya saling mempengaruhi, hingga garis dasar keadaan itu selalu tarik menarik dan akhirnya menjadi satu. Mengenai perlu tidaknya tuntutan di dalam tumbuhnya manusia, samalah keadaannya dengan soal perlu atau tidaknya pemeliharaan dalam tumbuhnya tanam - tanaman. Misalnya, kalau sebutir jagung yang baik dasarnya jatuh di tanah yang baik, banyak airnya dan mendapat sinar matahari, maka pemeliharaan dari bapak tani tentu akan menambah baik tanaman. Kalau tak ada pemeliharaan, sedangkan tanahnya tidak baik atau tempat jatuhnya biji jagung itu tidak mendapat sinar matahari atau kekurangan air, maka biji jagung itu walaupun dasarnya baik, tak akan dapat tumbuh baik karena pengaruh keadaan. Sebaliknya kalau sebutir jagung tidak baik dasarnya, akan tetapi ditanam dengan pemeliharaan yang sebaik - baiknya oleh bapak tani, maka biji itu akan dapat tumbuh lebih baik daripada biji lain yang tidak baik dasarnya” (Ki Hajar Dewantara, 1962). Jadi, pandangan teori konvergensi dapat disimpulkan sebagai berikut :
a)      Pendidikan itu serba mungkin diberikan kepada anak didik.
b)     Pendidikan diartikan sebagai pertolongan yang diberikan kepada anak untuk mengembangkan pembawaan yang baik dan mencegah pembawaan yang buruk.
c)      Hasil pendidikan tergantung dari pembawaan dan lingkungan.

9.      Aliran Pragmatisme

Aliran ini pertama kali tumbuh Di Amerika pada tahun 1878. Ketika itu Charles Sanders Pierce (1839 – 1914) menerbitkan sebuah makalah yang berjudul “How to Make Our Ideas Clear”. Namun pragmatisme sendiri lahir ketika William James membahas makalahnya yang berjudul ”Philosophycal Conceptions and Practical Result” (1898) dan mendaulat Pierce sebagai Bapak Pragmatisme. Selanjutnya aliran ini makin berkembang berkat kerja keras dari William James dengan berbagai karya tulisnya. Karya tulisnya itu antara lain adalah, “A Pluralistic Essay”, “Essay in Radical Empiricism”, “The Will to Believe”, dan “The Varieties of Religious Experience”. John Dewey juga ikut mengambil bagian dalam mempopulerkan aliran ini. Karya - karyanya antara lain adalah “Democracy and Education”, “Reconstruction in Philosophy”, “How We Think”, dan “Experience in Education”. Namun ia dan para pengikutnya lebih suka menyebut filsafatnya sebagai Instrumentalisme.

Pragmatisme berasal dari dua kata yaitu pragma dan isme. Pragam berasal dari bahasa Yunani yang berarti tindakan atau action. Sedangkan pengertian isme sama dengan pengertian isme - isme yang lainnya yang merujuk pada cara berpikir atau suatu aliran berpikir. Dengan demikian filsafat pragmatisme beranggapan bahwa fikiran itu mengikuti tindakan.

Pragmatisme menganggap bahwa suatu teori dapat dikatakan benar apabila teori itu bekerja. Ini berararti pragmatisme dapat digolongkan ke dalam pembahasan tentang makna kebenaran atau theory of thurth. Hal ini dapat kita lihat dalam buku William James yang berjudul The Meaning of Thurth. Menurut James kebenaran adalah sesuatu yang terjadi pada ide. Menurutnya kebenaran adalah sesuatu yang tidak statis dan tidak mutlak. Dengan demikian kebenaran adalah sesuatu yang bersifat relatif. Hal ini dapat dijelaskan melalui sebuah contoh. Misalnya ketika kita menemukan sebuah teori maka kebenaran teori masih bersifat relatif sebelum kita membuktikan sendiri kebenaran dari teori itu.
Dalam The Meaning of The Truth (1909), James menjelaskan metode berpikir yang mendasari pandangannya di atas. Dia mengartikan kebenaran itu harus mengandung tiga aspek. Pertama, kebenaran itu merupakan suatu postulat, yakni semua hal yang di satu sisi dapat ditentukan dan ditemukan berdasarkan pengalaman, sedang di sisi lain, siap diuji dengan perdebatan. Kedua, kebenaran merupakan suatu pernyataan fakta, artinya ada sangkut pautnya dengan pengalaman. Ketiga, kebenaran itu merupakan kesimpulan yang telah diperumum (digeneralisasikan) dari pernyataan fakta. Yang lebih menarik lagi adalah pragmatisme menjadikan konsekuensi - konsekuensi praktis sebagai standar untuk menentukan nilai dan kebenaran.

Menurut aliran ini hakikat dari realiatas adalah segala sesuatu yang dialami oleh manusia. Ia berpendapat bahwa inti dari realiatas adalah pengalam yang dialami manusia. Ini yang kemudian menjadi penyebab bahwa pragmatisme lebih memperhatikan hal yang bersifat keaktualan sehingga berimplikasi pada penentuan nilai dan kebenaran. Dengan demikian nilai dan kebenaran dapat ditentukan dengan melihat realitas yang terjadi di lapangan dan tidak lagi melihat faktor - faktor lain semisal dosa atau tidak. Hal ini senada dengan apa yang dikataka James, “Dunia nyata adalah dunia pengalaman manusia”.

10.  Aliran Eksistensialisme

Dari sudut etimologi eksistensi berasal dari kata eks yang berarti diluar dan sistensi yang berarti berdiri atau menempatkan, jadi secara luas eksistensi dapat diartikan sebagai beridir sendiri sebagai dirinya sekaligus keluar dari dirinya. Eksistensialisme merupakan suatu aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan pada manusia, dimana manusia dipandang sebagai suatu mahluk yang harus bereksistensi, mengkaji cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Jadi dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme adalah manusia konkret.

Ada beberapa ciri eksistensialisme, yaitu, selalu melihat cara manusia berada, eksistensi diartikan secara dinamis sehingga ada unsur berbuat dan menjadi, manusia dipandang sebagai suatu realitas yang terbuka dan belum selesai, dan berdasarkan pengalaman yang konkret. Jadi dapat disimpulkan bahwa eksistensialisme memandang manusia sebagai suatu yang tinggi, dan keberadaannya itu selalu ditentukan oleh dirinya, karena hanya manusialah yang dapat bereksistensi, yang sadar akan dirinya dan tahu bagaimana cara menempatkan dirinya. Dan ilmu - ilmu lain yang berkaitan dengan eksistensialisme ini saya kita ilmu - ilmu yang berkaitan dengan manusia seperti sosiologi (berkaitan dengan manusia dan keberadaannya didalam lingkungan sosial), antropologi (berkaitan anatar manusia dengan lingkungan budayanya)


11.  Aliran Idealisme
Tokoh aliran idealisme adalah Plato (427-374 SM), murid Sokrates. Aliran idealisme merupakan suatu aliran ilmu filsafat yang mengagungkan jiwa. Menurutnya, cita adalah gambaran asli yang semata-mata bersifat rohani dan jiwa terletak di antara gambaran asli (cita) dengan bayangan dunia yang ditangkap oleh panca indera. Pertemuan antara jiwa dan cita melahirkan suatu angan - angan yaitu dunia idea. Aliran ini memandang serta menganggap bahwa yang nyata hanyalah idea. Idea sendiri selalu tetap atau tidak mengalami perubahan serta penggeseran, yang mengalami gerak tidak dikategorikan idea.
Keberadaan idea tidak tampak dalam wujud lahiriah, tetapi gambaran yang asli hanya dapat dipotret oleh jiwa murni. Alam dalam pandangan idealisme adalah gambaran dari dunia idea, sebab posisinya tidak menetap. Sedangkan yang dimaksud dengan idea adalah hakikat murni dan asli. Keberadaannya sangat absolut dan kesempurnaannya sangat mutlak, tidak bisa dijangkau oleh material. Pada kenyataannya, idea digambarkan dengan dunia yang tidak berbentuk demikian jiwa bertempat di dalam dunia yang tidak bertubuh yang dikatakan dunia idea.
Plato yang memiliki filsafat beraliran idealisme yang realistis mengemukakan bahwa jalan untuk membentuk masyarakat menjadi stabil adalah menentukan kedudukan yang pasti bagi setiap orang dan setiap kelas menurut kapasitas masing - masing dalam masyarakat sebagai keseluruhan. Mereka yang memiliki kebajikan dan kebijaksanaan yang cukup dapat menduduki posisi yang tinggi, selanjutnya berurutan ke bawah. Misalnya, dari atas ke bawah, dimulai dari raja, filosof, perwira, prajurit sampai kepada pekerja dan budak. Yang menduduki urutan paling atas adalah mereka yang telah bertahun - tahun mengalami pendidikan dan latihan serta telah memperlihatkan sifat superioritasnya dalam melawan berbagai godaan, serta dapat menunjukkan cara hidup menurut kebenaran tertinggi. Mengenai kebenaran tertinggi, dengan doktrin yang terkenal dengan istilah ide, Plato mengemukakan bahwa dunia ini tetap dan jenisnya satu, sedangkan ide tertinggi adalah kebaikan. Tugas ide adalah memimpin budi manusia dalam menjadi contoh bagi pengalaman. Siapa saja yang telah menguasai ide, ia akan mengetahui jalan yang pasti, sehingga dapat menggunakan sebagai alat untuk mengukur, mengklasifikasikan dan menilai segala sesuatu yang dialami sehari - hari.
Kadangkala dunia idea adalah pekerjaan rohani yang berupa angan - angan untuk mewujudkan cita - cita yang arealnya merupakan lapangan metafisis di luar alam yang nyata. Menurut Berguseon, rohani merupakan sasaran untuk mewujudkan suatu visi yang lebih jauh jangkauannya, yaitu intuisi dengan melihat kenyataan bukan sebagai materi yang beku maupun dunia luar yang tak dapat dikenal, melainkan dunia daya hidup yang kreatif (Peursen, 1978:36). Aliran idealisme kenyataannya sangat identik dengan alam dan lingkungan sehingga melahirkan dua macam realita. Pertama, yang tampak yaitu apa yang dialami oleh kita selaku makhluk hidup dalam lingkungan ini seperti ada yang datang dan pergi, ada yang hidup dan ada yang demikian seterusnya. Kedua, adalah realitas sejati, yang merupakan sifat yang kekal dan sempurna (idea), gagasan dan pikiran yang utuh di dalamnya terdapat nilai - nilai yang murni dan asli, kemudian kemutlakan dan kesejatian kedudukannya lebih tinggi dari yang tampak, karena idea merupakan wujud yang hakiki.
Prinsipnya, aliran idealisme mendasari semua yang ada. Yang nyata di alam ini hanya idea, dunia idea merupakan lapangan rohani dan bentuknya tidak sama dengan alam nyata seperti yang tampak dan tergambar. Sedangkan ruangannya tidak mempunyai batas dan tumpuan yang paling akhir dari idea adalah arche yang merupakan tempat kembali kesempurnaan yang disebut dunia idea dengan Tuhan, arche, sifatnya kekal dan sedikit pun tidak mengalami perubahan. Inti yang terpenting dari ajaran ini adalah manusia menganggap roh atau sukma lebih berharga dan lebih tinggi dibandingkan dengan materi bagi kehidupan manusia. Roh itu pada dasarnya dianggap suatu hakikat yang sebenarnya, sehingga benda atau materi disebut sebagai penjelmaan dari roh atau sukma. Aliran idealisme berusaha menerangkan secara alami pikiran yang keadaannya secara metafisis yang baru berupa gerakan - gerakan rohaniah dan dimensi gerakan tersebut untuk menemukan hakikat yang mutlak dan murni pada kehidupan manusia. Demikian juga hasil adaptasi individu dengan individu lainnya. Oleh karena itu, adanya hubungan rohani yang akhirnya membentuk kebudayaan dan peradaban baru (Bakry, 1992:56). Maka apabila kita menganalisa pelbagai macam pendapat tentang isi aliran idealisme, yang pada dasarnya membicarakan tentang alam pikiran rohani yang berupa angan - angan untuk mewujudkan cita - cita, di mana manusia berpikir bahwa sumber pengetahuan terletak pada kenyataan rohani sehingga kepuasaan hanya bisa dicapai dan dirasakan dengan memiliki nilai - nilai kerohanian yang dalam idealisme disebut dengan idea.
Memang para filosof ideal memulai sistematika berpikir mereka dengan pandangan yang fundamental bahwa realitas yang tertinggi adalah alam pikiran (Ali, 1991:63). Sehingga, rohani dan sukma merupakan tumpuan bagi pelaksanaan dari paham ini. Karena itu alam nyata tidak mutlak bagi aliran idealisme. Namun pada porsinya, para filosof idealisme mengetengahkan berbagai macam pandangan tentang hakikat alam yang sebenarnya adalah idea. Idea ini digali dari bentuk - bentuk di luar benda yang nyata sehingga yang kelihatan apa di balik nyata dan usaha - usaha yang dilakukan pada dasarnya adalah untuk mengenal alam raya. Walaupun katakanlah idealisme dipandang lebih luas dari aliran yang lain karena pada prinsipnya aliran ini dapat menjangkau hal - hal yang sangat pelik yang kadang - kadang tidak mungkin dapat atau diubah oleh materi, Sebagaimana Phidom mengetengahkan, dua prinsip pengenalan dengan memungkinkan alat-alat inderawi yang difungsikan di sini adalah jiwa atau sukma. Dengan demikian, dunia pun terbagi dua yaitu dunia nyata dengan dunia tidak nyata, dunia kelihatan (boraton genos) dan dunia yang tidak kelihatan (cosmos neotos). Bagian ini menjadi sasaran studi bagi aliran filsafat idealisme (Van der Viej, 2988:19).
Plato dalam mencari jalan melalui teori aplikasi di mana pengenalan terhadap idea bisa diterapkan pada alam nyata seperti yang ada di hadapan manusia. Sedangkan pengenalan alam nyata belum tentu bisa mengetahui apa di balik alam nyata. Memang kenyataannya sukar membatasi unsur - unsur yang ada dalam ajaran idealisme khususnya dengan Plato. Ini disebabkan aliran Platonisme ini bersifat lebih banyak membahas tentang hakikat sesuatu daripada menampilkannya dan mencari dalil dan keterangan hakikat itu sendiri. Oleh karena itu dapat kita katakan bahwa pikiran Plato itu bersifat dinamis dan tetap berlanjut tanpa akhir. Tetapi betapa pun adanya buah pikiran Plato itu maka ahli sejarah filsafat tetap memberikan tempat terhormat bagi sebagian pendapat dan buah pikirannya yang pokok dan utama.
Antara lain Betran Russel berkata: Adapun buah pikiran penting yang dibicarakan oleh filsafat Plato adalah: kota utama yang merupakan idea yang belum pernah dikenal dan dikemukakan orang sebelumnya. Yang kedua, pendapatnya tentang idea yang merupakan buah pikiran utama yang mencoba memecahkan persoalan-persoalan menyeluruh persoalan itu yang sampai sekarang belum terpecahkan. Yang ketiga, pembahasan dan dalil yang dikemukakannya tentang keabadian. Yang keempat, buah pikiran tentang alam / cosmos, yang kelima, pandangannya tentang ilmu pengetahuan (Ali, 1990 : 28).
12.  Aliran Realisme
Ada tiga ajaran pokok dari Plato yaitu tentang idea, jiwa dan proses mengenal. Menurut Plato realitas terbagi menjadi dua yaitu contoh (paradigma) bagi benda konkret. Pembagian dunia ini pada inderawi yang selalu berubah dan dunia idea yang tidak pernah berubah. Idea merupakan sesuatu yang obyektif, tidak diciptakan oleh pikiran dan justru sebaliknya memberikam dua pengenalan. Pertama pengenalan tentang idea, inilah pengenalan yang sebenarnya. Pengenalan yang dapat dicapai oleh rasio ini disebut episteme (pengetahuan) dan bersifat, teguh, jelas, dan tidak berubah. Dengan demikian Plato menolak relatifisme kaum sofis. Kedua, pengenalan tentang benda - benda disebut doxa (pendapat), dan bersifat tidak tetap dan tidak pasti; pengenalan ini dapat dicapai dengan panca indera. Dengan dua dunianya ini juga Plato bisa mendamaikan persoalan besar filsafat pra-socratik yaitu pandangan panta rhei-nya Herakleitos dan pandangan yang ada - adanya Parmenides. Keduanya benar, dunia inderawi memang selalu berubah sedangkan dunia idea tidak pernah berubah dan abadi. Memang jiwa Plato berpendapat bahwa jika itu baka, lantaran terdapat kesamaan antara jiwa dan idea. Lebih lanjut dikatakan bahwa jiwa sudah ada sebelum hidup di bumi.
Sebelum bersatu dengan badan, jiwa sudah mengalami pra eksistensi dimana ia memandang idea - idea. Berdasarkan pandangannya ini, Plato lebih lanjut berteori bahwa pengenalan pada dasarnya tidak lain adalah pengingatan (anamnenis) terhadap idea-idea yang telah dilihat pada waktu pra-eksistansi. Ajaran Plato tentang jiwa manusia ini bisa disebut penjara. Plato juga mengatakan, sebagaimana manusia, jagat raya juga memiliki jiwa dan jiwa dunia diciptakan sebelum jiwa - jiwa manusia. Plato juga membuat uraian tentang negara. Tetapi jasanya terbesar adalah usahanya membuka sekolah yang bertujuan ilmiah. Sekolahnya diberi nama “Akademia” yang paling didedikasikan kepada pahlawan yang bernama.
13.  Aliran Materialisme
Masalah fundamental yang besar dari semua filsafat, teristimewa dari filsafat yang akhir - akhir ini, ialah masalah mengenai hubungan antara pikiran dengan keadaan. Sejak zaman purbakala, ketika manusia, yang masih sama sekali tidak tahu tentang susunan tubuh mereka sendiri, di bawah rangsang khayal - khayal impian mulai percaya bahwa pikiran dan perasaan mereka bukanlah aktivitas - aktivitas tubuh mereka, tetapi, aktivitas - aktivitas suatu nyawa yang tersendiri yang mendiami tubuhnya dan meninggalkan tubuh itu ketika mati sejak waktu itu manusia didorong untuk memikirkan tentang hubungan antara nyawa dengan dunia luar. Jika pada waktu seseorang meninggal dunia nyawa itu meninggalkan tubuh dan hidup terus, maka tidak ada alasan untuk menerka - nerka kematian lain yang tersendiri baginya. Maka itu timbul ide tentang kekekal - abadian, yang pada tingkat. perkembangan waktu itu sama sekali tidak nampak sebagai penghibur tetapi sebagai takdir yang terhadapnya tiada berguna mengadakan perlawanan, dan sering sekali, seperti dikalangan orang - orang Yunani, sebagai malapetaka yang sesungguhnya. Bukannya hasrat keagamaan akan suatu penghibur, tetapi kebingungan yang timbul dari ketidaktahuan umum yang lazim tentang apa yang harus diperbuat dengan nyawa itu, sekali adanya nyawa itu diakui, sesudah tubuh mati, menuju secara umum kepada paham tentang kekekal - abadian perorangan. Dengan cara yang persis sama, lahirlah dewa - dewa pertama, lewat personifikasi kekuatan - kekuatan alam. Dan dalam perkembangan agama - agama selanjutnya dewa - dewa itu makin lama makin mengambil bentuk - bentuk diluar keduniawian, sehingga akhirnya lewat proses abstraksi saja hampir bisa mengatakan proses penyulingan, yang terjadi secara wajar dalam proses perkembangan intelek manusia, dari dewa - dewa yang banyak jumlahnya itu, yang banyak sedikitnya terbatas dan saling-membatasi, muncul di dalam pikiran - pikiran manusia ide tentang satu tuhan yang eksklusif dari agama - agama monoteis.



Jadi masalah hubungan antara pikiran dengan keadaan, hubungan antara jiwa dengan alam masalah yang terpenting dari seluruh filsafat  mempunyai, tidak kurang daripada semua agama, akar - akarnya di dalam paham - paham kebiadaban yang berpikiran sempit dan tiada berpengetahuan. Tetapi masalah itu untuk pertama kalinya dapat diajukan dengan seluruh ketajamannya, dapat mencapai arti pentingnya yang sepenuhnya, hanya setelah umat manusia di Eropa bangun dari kenyenyakan tidur yang lama dalam Zaman Tengah Nasrani. Masalah kedudukan pikiran dalam hubungan dengan keadaan, suatu masalah yang, sepintas lalu, telah memainkan peranan besar juga dalam skolastisisme Zaman Tengah, masalah: yang mana yang primer, jiwa atau alam masalah itu, dalam hubungan dengan gereja, dipertajam menjadi : Apakah Tuhan menciptakan dunia atau kah dunia sudah ada sejak dulu dan akan tetap ada di kemudian hari ?

Jawaban - jawaban yang diberikan oleh para ahli filsafat ke masalah ini membagi mereka ke dalam dua kubu besar. Mereka yang menegaskan bahwa jiwa ada yang primer jika dibandingkan dengan alam, dan karenanya, akhirnya, menganggap adanya penciptaan dunia dalam satu atau lain bentuk  dan di kalangan para ahli filsafat, Hegel, misalnya, penciptaan ini sering menjadi lebih rumit dan mustahil daripada dalam agama Nasrani  merupakan kubu idealisme. Yang lain, yang menganggap alam sebagai yang primer, tergolong ke dalam berbagai mazhab materialisme.

d^o^b








1 komentar:

  1. terimakasih, sudah posting materi yang sangat berguna ini

    BalasHapus